KONSELING DAN TES HIV SUKARELA (KTS)


Konseling merupakan komponen penting pada layanan tes HIV. Konseling dilaksanakan bagi klien baik sebelum tes, sesudah tes dan selama perawatan HIV yang dilaksanakan oleh tenaga yang terlatih.


A.    PERAN KONSELING DALAM TES HIV

Layanan konseling pada tes HIV dilakukan berdasarkan kepentingan klien/pasien baik kepada mereka yang HIV positif maupun negatif. Layanan ini dilanjutkan dengan dukungan psikologis dan akses untuk terapi. Konselor terlatih membantu klien/pasien dalam menggali dan memahami diri akan risiko infeksi HIV, memelajari status dirinya dan mengerti tanggung jawab untuk mengurangi perilaku berisiko serta mencegah penyebaran infeksi kepada orang lain serta untuk mempertahankan dan meningkatkan perilaku sehat.


B. PROSES KONSELING DAN TES HIV

1. Konseling pra-tes

Konseling pra-tes dilaksanakan pada klien/pasien yang belum bersedia atau pasien yang menolak untuk menjalani tes HIV setelah diberikan informasi pra-tes. Dalam konseling pra-tes harus seimbang antara pemberian informasi, penilaian risiko dan respon kebutuhan emosi klien.

Masalah emosi yang menonjol adalah rasa takut melakukan tes HIV karena berbagai alasan termasuk ketidaksiapan menerima hasil tes, perlakuan diskriminasi, stigmatisasi masyarakat dan keluarga.
Ruang lingkup konseling pra-tes pada KTS adalah
  1. Alasan kunjungan, informasi dasar tentang HIV dan klarifikasi tentang fakta dan mitos tentang HIV;
  2. Penilaian risiko untuk membantu klien memahami faktor risiko;
  3. Menyiapkan klien untuk pemeriksaan HIV;
  4. Memberikan pengetahuan tentang implikasi terinfeksi HIV dan memfasilitasi diskusi cara menyesuaikan diri dengan status HIV;
  5. Melakukan penilaian sistem dukungan termasuk penilaian kondisi kejiwaan jika diperlukan;
  6. Meminta informed consent sebelum dilakukan tes HIV; dan
  7. Menjelaskan pentingnya menyingkap status untuk kepentingan pencegahan, pengobatan dan perawatan.
Pemberian informasi dasar terkait HIV bertujuan agar klien:
  1. Memahami cara pencegahan, penularan HIV, perilaku berisiko;
  2. Memahami pentingnya tes HIV; dan
  3. Mengurangi rasa khawatir dalam tes HIV.
Konselor perlu mengetahui latar belakang kedatangan klien untuk mengikuti konseling HIV dan memfasilitasi kebutuhan agar proses tes HIV dapat memberikan penguatan untuk menjalani hidup lebih sehat dan produktif serta melakukan komunikasi perubahan perilaku. Komunikasi perubahan perilaku adalah unsur penting dalam konseling pra tes yang tidak boleh dihilangkan.

Unsur penting tersebut meliputi:
  1. Penilaian risiko dan kerentanan
  2. Penjelasan dan praktik keterampilan perilaku aman. Pesan pencegahan, penggunaan kondom, dan jarum bersih harus ditekankan
  3. Membuat rencana. Merencanakan perubahan perilaku dengan mempertimbangkan kemampuan dan sumber daya yang tersedia
  4. Penguatan dan komitmen. tentang perencanaan klien untuk hidup lebih sehat.
  5. Lingkungan yang mendukung. Untuk praktik perilaku yang aman, termasuk ketersediaan pilihan jenis kondom dan alat suntik, bahan komunikasi, informasi  dan edukasi  (leaflet, brosur) serta layanan konseling  rujukan/hotline  bagi individu, keluarga maupun masyarakat sekitar sangat diperlukan.

2. Konseling pasca tes HIV

Konseling pasca tes adalah konseling untuk menyampaikan hasil pemeriksaan kepada klien secara individual guna memastikan klien/pasien mendapat tindakan sesuai hasil tes terkait dengan pengobatan dan perawatan selanjutnya. Proses ini membantu klien/pasien memahami penyesuaian diri dengan hasil pemeriksaan.

Proses konseling pasca tes tetap dilanjutkan dengan konseling lanjutan yang sesuai dengan kondisi klien/pasien yaitu antara lain:  

  • Konseling HIV pada Ibu Hamil
Konseling wajib diberikan pada setiap pasien/ibu hamil yang telah diperiksa spesimen darahnya untuk tes HIV dan sifilis. Konseling harus dilakukan secara tatap muka individual.

Isi konseling pada ibu hamil, berdasarkan hasil tes, sebagai berikut:
1)      Hasil tes HIV negatif:
      Penjelasan tentang masa jendela/window periode
      Pencegahan untuk tidak tertular;
      Penjelasan dari risiko penularan HIV dari ibu ke anak;
      Perencanaan kehamilan berikutnya dan KB; dan
      Anjuran konseling dan edukasi kepada pasangan agar pasangan melakukan tes HIV.
2)     Hasil tes HIV positif:
·         Penjelasan mengenai aspek kerahasiaa;
·         Penjelasan tentang rencana pemberian profilaksis kotrimoksasol dan terapi ARV, kepatuhan minum obat serta akses layanan ART;
·         Rencana pilihan persalinan;
·         Rencana pilihan tentang makanan bayi dan dukungan untuk melaksanakan pilihannya;
·         Konseling  hubungan  seksual  selama  kehamilan (abstinensia, saling setia atau menggunakan kondom secara benar dan konsisten);
·         Rencana tes HIV bagi bayi yang akan dilahirkan;
·         Anjuran agar pasangan melakukan tes HIV;
·         Informasi  tentang  keberadaan  kelompok  dukungan sebaya ODHA yang dapat dihubungi, nama dan nomor telepon klinik/rumah sakit rujukan ODHA.
3)     Hasil Indeterminate:
·         Penjelasan tentang masa jendela;
·         Anjuran konseling dan edukasi kepada pasangan agar melakukan tes HIV segera;
·         Jika hasil tes pasangan positif, ibu hamil segera diberikan ARV sampai terbukti hasil pemeriksaan negative;
·         Perlu dilakukan tes ulang 2 minggu setelah pemeriksaan yang pertama  dengan  spesimen  baru  atau  dengan pemeriksaan PCR.
  • Konseling Pencegahan Positif (Positive Prevention)

Konseling  pencegahan  positif  merupakan  konseling  yang dilakukan pada orang yang terinfeksi HIV dengan maksud:

  1. Mencegah penularan HIV dari orang yang terinfeksi HIV ke orang lain;
  2. Mencegah penularan infeksi ulang HIV dan infeksi lain (termasuk IMS) pada orang yang terinfeksi HIV;
  3. Meningkatkan kualitas hidup orang yang terinfeksi HIV.
Prinsip umum pencegahan positif:
  1. Didasarkan pada perspektif dan realita orang yang terinfeksi HIV.
  2. Orang yang terinfeksi HIV mempunyai hak seksualitas, oleh karena itu  dibutuhkan  informasi  yang  rinci  tentang seksualitas.
  3. Difokuskan pada komunikasi, informasi, dukungan dan perubahan kebijakan, tanpa stigmatisasi dan diskriminasi.
  4. Membutuhkan keterlibatan dan partisipasi bermakna orang yang terinfeksi HIV.
  5. Perlu  menyertakan  organisasi  layanan  HIV,  kelompok dukungan dan LSM ke dalam program penanggulangan HIV.
  6. Menjunjung hak asasi manusia, termasuk hak hidup sehat, hak seksualitas, privasi, konfidensialitas, informed consent dan bebas dari diskriminasi. Di samping itu juga memenuhi kewajiban dan tanggung jawab untuk tidak mencelakakan orang dengan cara tidak menularkan HIV.
  7. Penularan HIV diperbesar oleh ketidak setaraan gender, posisi tawar, seksualitas, pendidikan, ketidaktahuan status HIV dan tingkat ekonomi.
  8. Menuntut  tanggung  jawab  bersama  dalam  upaya menurunkan tingkat penularan. Keterbukaan, informasi dan komunikasi tentang seksualitas dan hubungan seks bisa menjadi cara untuk menurunkan penyebaran HIV lebih lanjut kepada pasangan atau orang lain
  9. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

  • KONSELING ADHERENCE PADA KEPATUHAN MINUM OBAT


Konseling adherence merupakan salah satu mata rantai dalam proses pemberian ARV, sebelum pasien mendapatkan rencana pengobatan, pemberian  ARV  dan  pasien  pulang dengan membawa ARV dan akan memulai pengobatan untuk seumur hidup.

Karakteristik dari virus HIV yang selalu bermutasi, mudah terjadinya resisten jika pasien tidak minum dengan benar (mendapatkan ARV yang tepat, rejimen yang tepat, dosis yang adekuat serta cara minum obat yang benar), terbatasnya pilihan ARV yang ada di Indonesia serta pendanaan yang terbatas, maka adherence mutlak harus dievaluasi sebelum seseorang diputuskan dinyatakan memenuhi syarat secara medis dan non medis.

Dalam proses konseling, konselor mengevaluasi hambatan yang dapat menggangu kepatuhan dan melakukan koreksi pada tiap pertemuan yaitu :
  1. Hambatan yang berasal dari pasien baik kondisi fisik, mental, lingkungan sekitar dan aspek sosial lainnya;
  2. Hambatan yang berasal dari ARV termasuk diantaranya rejimen, interaksi obat, efek samping obat;
  3. Hambatan yang berasal dari sistem kesehatan konselor bekerja; dan
  4. Hambatan yang berasal dari gejala sisa yang disebabkan oleh penyakit oportunistik.

Pasien yang datang berobat terbagi menjadi dua yaitu pasien baru dan pasien lama. Pada pasien baru akan dilakukan hal sebagai berikut :
  1. Tes HIV;
  2. Pemeriksaan klinis untuk mencari infeksi oportunistik, pemberian kotrimoksasol  profilaksis  dan  penentuan stadium;
  3. Konseling adherence;
  4. Pemberian  ARV  sesuai  dengan  ketentuan  peraturan perundang-undangan.

 Pada pasien lama atau pasien yang telah mendapatkan ARV, pada setiap kunjungan dilakukan:
  1. Pengecekan cara pasien minum obat dan memastikan obat yang diberikan diminum;
  2. Evaluasi efek samping;
  3. Pemeriksaan fisik oleh dokter untuk memastikan tidak lagi dijumpai infeksi oportunistik; dan
  4. Bantuan psikologis atau sosial lainnya jika dibutuhkan dan rumah sakit mempunyai sarana dan jaringan kerja.

Evaluasi non medis dapat melibatkan kelompok dukungan sebaya terutama pada kasus putus obat, dimana petugas kesehatan tidak dapat melakukan jangkauan.

Peran petugas kesehatan dan konselor HIV dalam konseling adherence:
  1. Pemberian informasi HIV, pencegahan dan konseling oleh konselor;
  2. Pemeriksaan kesehatan baik fisik maupun mental oleh team medis;
  3. Penjelasan mengenai infeksi oportunistik yang diderita, pengobatan dan pemberian kotrimoksasol untuk profilaksis oleh dokter;
  4. Penjelasan untuk perawatan di rumah oleh perawat;
  5. Penjelasan singkat oleh dokter tentang semua hal yang berkaitan dengan rencana pemberian ARV termasuk di dalamnya penentuan rejimen, evaluasi  interaksi  obat, penjelasan efek samping dan cara minum obat.

Pengkajian cepat untuk evaluasi mental, dan kepribadian dilakukan dengan cara  anamnesa sederhana atau menggunakan STATUS MINI MENTAL (Mini Mental State). Gangguan jiwa yang diderita bisa disebabkan karena efek napza  (narkotika,  alkohol,  psikotropika  dan  zat  aditif lainnya), karena penyakit infeksi oportunistik dan karena beban mental yang disebabkan oleh status HIV yang disandangnya.

Gangguan jiwa yang sering terjadi dan perlu  dianalisa adalah:
  • Anxietas;
  • Depresi;
  • Gangguan afektif;
  •  diagnosis, yaitu didapat:

  1. gangguan jiwa diikuti penyalahgunaan zat;
  2. penyalahgunaan zat dengan gejala sisa patologis;
  3. diagnosis primer yang dual;
  4. keadaan beberapa etiolgi sekaligus.
  • Schizofrenia;
  • Paranoid;
  • Anti sosial;
  • Obsesif kompulsif;
  • Gangguan kepribadian/personaliti.
Hal yang harus diperhatikan sehubungan dengan gangguan jiwa adalah bahwa:
  • Gangguan jiwa yang terjadi harus dibedakan dengan yang disebabkan karena  faktor  psikologis  atau  yang disebabkan karena penggunaan obat psikotropika atau keduanya;
  • Gangguan jiwa harus dibedakan dengan tanda gejala putus obat (withdrawal syndrom).
 Tujuan dari pengenalan gangguan jiwa ini adalah untuk dapat membuat strategi guna membantu pasien minum obat. salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah dengan melibatkan keluarga atau orang yang dekat dengan pasien. Jika tidak memiliki keluarga, maka pasien harus dirujuk untuk penanganan gangguan jiwa.

Selain gangguan jiwa, hal yang dapat mengganggu adherence ialah pengaruh Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Lainnya/napza. Napza bisa menyebabkan gangguan dalam adherence dengan cara:
  • Penggunaan dari beberapa jenis napza  jangka panjang akan menyebabkan kerusakan otak dan gangguan jiwa;
  • Efek kecanduan, pada kondisi withdrawal, pasien akan lebih mencari napza daripada ARV.
Secara umum sulit untuk membedakan gangguan jiwa yang timbul  akibat  napza  dengan  faktor  psikologi,  karena tampilan gejalanya sama. Jika pasien masih aktif menggunakan napza,  maka konselor merujuk kepada unit psikiatri atau dokter yang telah terlatih untuk penanganan napza.

Beberapa hal yang harus selalu diingat adalah adanya interaksi dan efek samping tumpang tindih antara ARV dan napza, seperti :
a)      Evafirens (EFV) meningkatkan risiko depresi dan bunuh diri;
b)    Nevirapine (NVP) berisiko terjadinya hepatotoksisitas pada ODHA dengan ko-infeksi HCV/HBV;
c)   Kenaikan konsentrasi Zidovudine (ZDV) 40% bila diberi bersama-sama dengan metadon;
d)     Penurunan Didanosine (ddI) 60% dengan penggunaan bersama metadon;
e)      Penggunaan metadon dengan Rifampisin menurunkan kadar metadon 50%;
f)       NVP, EVP dapat mengakibatkan putus zat opiat yang hebat        pada beberapa kasus karena penurunan efek metadon.
Evaluasi pada kasus putus obat, lebih ditekankan untuk melihat:
a) Motivasi diri pasien;
b) Masalah psikologi dan social; dan
c) Menilai kemungkinan pasien relaps dalam penggunaan napza.
Jika dalam evaluasi, konselor mendapatkan bukti bahwa pasien belum dapat minum obat secara teratur dan terus menerus, maka penundaan pemberian ARV untuk kedua kalinya dapat dipertimbangkan dan direkomendasikan. Jika pemberian ARV ditunda, maka kotrimoksasol diberikan kembali untuk tujuan profilaksis. Pemberian terapi ARV sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  • Informed Consent dalam Konseling Adherence

Sebelum menjalani terapi ARV, semua pasien harus memberikan persetujuan tertulisnya.
Aspek penting didalam persetujuan tertulis itu adalah sebagai berikut:
  • Pasien  telah  diberi  penjelasan  yang  cukup  tentang keuntungan,  risiko dan dampak sebagai akibat dari tindakannya dan pasien menyetujuinya.
  • Pasien mempunyai kemampuan menangkap pengertian dan    mampu  menyatakan  persetujuannya  (secara intelektual dan psikiatris).
  • Pasien  tidak  dalam  paksaan  untuk  memberikan persetujuan meski konselor memahami bahwa mereka memang sangat memerlukan ART.
  • Untuk pasien yang tidak mampu mengambil keputusan bagi dirinya karena  keterbatasan  dalam  memahami informasi maka tugas konselor untuk berlaku jujur dan obyektif dalam menyampaikan informasi sehingga pasien memahami   dengan  benar  dan  dapat  menyatakan persetujuannya.



  • Konseling pada Gay, Waria, Lesbian, dan Pekerja Seks
Konselor perlu mendiskusikan orientasi seksual klien dalam menurunkan risiko penularan. Penggunaan kondom mutlak diperlukan  pada  setiap  hubungan  seksual  vaginal,  anal, maupun oral.

Waspadai adanya infeksi menular seksual dan diskusikan serta rujuk untuk terapi. Infeksi dapat terjadi pada mulut, vagina, anus, penis dan mukosa/kulit disekitarnya.

Pendekatan mental emosional atas hubungan seksual, relasi individu dengan pasangannya serta keluarganya terkait beban mental sangat diperlukan karena faham dan perilaku tidak sesuai dengan norma /kepercayaan masyarakat. Pada klien biasanya akan timbul :
  1. perasaan bersalah, perasaan dikucilkan;
  2. insekuritas hubungan pasangan yang membuat klien lebih sensitif, rentan terhadap gangguan mental emosional; dan
  3. rasa  penerimaan  diri  dan  ambiguitas,  terhadap  peran gender, peran hidupnya dalam masyarakat. 

  • Konseling HIV pada Pengguna Napza
Dalam konseling HIV pada pengguna napza konselor memiliki tugas sebagai berikut:
  1. Mengkaji  dan  mendiskusikan  penggunaan  napza  yang memperberat terjadinya gangguan pikiran dan perasaan dan akan menghambat kemampuan penurunan pencegahan.
  2. Mendiskusikan tentang interaksi silang antara napza yang digunakan, ARV, obat infeksi oportunistik dan farmakoterapi lain yang digunakan dalam pengobatan (termasuk metadon, buprenorfina dan obat-obat psikiatri).
  3. Mendiskusikan strategi pengurangan risiko dari hubungan seksual, dan  penggunaan  alat  suntik  bersama  terkait penggunaan napza.
  4. Mendiskusikan  strategi  penurunan  penularan  lewat pembuatan tato, dan penindikan bagian tubuh.
  5.  Mendorong klien untuk mengikuti terapi rehabilitasi napza sesuai jenis zat yang digunakannya, seperti terapi rumatan metadon   atau   buprenorfina   untuk   mereka   yang ketergantungan opioida, atau terapi lainnya termasuk yang berorientasi abstinensia melalui program rehabilitasi rawat inap jangka panjang.
  6. Mengkaji permasalahan lain yang dialami klien, sepertingangguan kejiwaan, masalah legal, ketiadaan dukungan keluarga/sosial, dan permasalahan lain yang dapat menghambat adanya perubahan perilaku.
  7. Melakukan rujukan kepada Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) baik secara internal ataupun eksternal.

  • Konseling Pasangan
Pasangan  yang  dimaksud  adalah  suami/isteri/pasangan seksual tetap atau yang berencana untuk melakukan hidup bersama. Secara ideal konseling ini dilakukan kepada pasangan tersebut secara sekaligus  dan bukan pada individu satu persatu. Bilamana memungkinkan kedua individu tersebut dihadirkan dalam membicarakan masalah bersama. Dalam situasi  tidak  dimungkinkan  kehadiran  keduanya,  seperti kehadiran pasangan mengancam dari pasangan satunya, maka konseling dapat dilakukan secara individual terlebih dahulu kemudian dihadirkan bersama apabila situasi sudah kondusif. Konseling pasangan merupakan layanan ketika pasangan dan klien datang untuk melaksanakan pemeriksaan bersama atau sebagai konseling berkelanjutan pada saat membuka status.

Dalam  konseling  pasangan,  permintaan  izin  pemeriksaan secara individual tetap perlu dilakukan.

Tugas konselor dalam konseling ini adalah:
  • Mengkaji  dan  mendiskusikan  permasalahan dan risiko tentang perilaku seksual, IMS dan HIV.
  • Memfasilitasi pembelajaran bersama, praktik seksual yang aman dan saling bertanggung jawab satu atas lainnya.
  • Mengkaji dan mendiskusikan penerimaan pasangan atas status yang sama-sama positif maupun diskordan.
  • Membantu   menurunkan   kecemasan   pasangan   dan mencegah saling menyalahkan.
  • Memfasilitasi  pasangan  untuk  bersama-sama  membuat rencana masa depan, saling menguatkan, saling memahami dan mendukung.
  • Pesan yang diberikan:                  
  1. Secara ideal hendaknya pasangan telah mengetahui statusnya terlebih dahulu sebelum membina hubungan
  2. Jika keduanya negatif, jaga agar tetap negatif;
  3. Jika keduanya positif, tetap melakukan seks aman agar tidak saling menularkan;
  4. Jika salah satu positif dan lainnya negatif (diskordan), konselor mendiskusikan strategi  agar  tidak  terjadi penularan;
  5. Dorong klien agar tidak menghakimi pasangan.
Isi konseling biasanya menyangkut:
  1. Relasi dan komunikasi pasangan
  2. Saling menguntungkan dengan saling tahu status HIV
  3. Relasi seksual dan pengaruh mental emosional mereka
  4. Perencanaan kehamilan
  5. Perencanaan keluarga (karier, pengasuhan dan pendidikan serta masa depan anak, sosial ekonomi)
  6. Hubungan dengan keluarga besar (mertua, menantu, ipar)

  • Konseling Keluarga
Keluarga adalah lingkungan dimana terdapat beberapa orang yang masih memiliki hubungan darah atau kelompok sosial terdiri       dari  sejumlah  individu,  memiliki  hubungan  antar individu dan terdapat ikatan, kewajiban, tanggung jawab di antara individu tersebut.

Konseling keluarga membutuhkan kompetensi khusus karena harus dapat mengakomodasi kebutuhan dan karakteristik dari masing-masing anggota keluarga. Yang dimaksud konseling keluarga dalam pedoman ini lebih dititikberatkan pemberian informasi dan edukasi bagi keluarga ODHA. Konselor dapat memulai  pembicaraan  dengan  mengangkat permasalahan status salah satu atau lebih tentang status.

Hal-hal yang dibahas dalam konseling keluarga adalah:
  1. Tingkat pengetahuan mengenai HIV dari masing-masing anggota keluarga.
  2. Komunikasi dan relasi dalam keluarga, peran anggota keluarga ketika mereka menghadapi sebuah persoalan, termasuk apabila salah satu atau lebih memiliki status HIV positif.
  3. Peran  dari  masing-masing  anggota  keluarga  dalam mendukung ODHA di keluarga dan upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi penularan, stigma dan diskriminasi.
  4. Upaya keluarga dalam menghadapi stigma dan diskriminasi dari pihak luar (pihak ketiga).
  5. Rujukan pada profesional apabila dibutuhkan penanganan lebih lanjut.
  •  Konseling pada Klien/Pasangan dengan Gangguan Jiwa
Yang  dimaksud  dengan  gangguan  jiwa  adalah  berbagai gangguan yang dikarakteristikkan oleh beberapa kombinasi pola pikir, emosi, perilaku dan hubungan dengan orang lain yang abnormal. Hal ini mencakup gangguan jiwa ringan seperti kecemasan, gangguan tidur dan depresi sampai gangguan jiwa berat seperti skizofrenia, gangguan depresi mayor, gangguan bipolar dan gangguan jiwa lainnya. Ruang lingkup yang dibahas dalam pedoman ini adalah klien/pasien dengan gangguan jiwa ringan. Untuk gangguan jiwa berat harus dilakukan rujukan kepada layanan psikiatri yang tersedia di wilayah masing- masing.


Hal-hal yang dapat dilakukan pada klien/pasien dengan gangguan jiwa ringan :
  1. Mengkaji  derajat  gangguan  jiwa  ringan  yang  dialami klien/pasien atas status HIVnya baik yang hasil positif maupun negatif.
  2. Mengkaji perilaku berisiko terkait kejiwaan seperti keinginan bunuh diri/membunuh  orang  lain,  menarik  diri  dari lingkungan sosial, kabur dari rumah atau perilaku agresif.
  3. Mendiskusikan strategi untuk mengatasi perilaku berisiko di atas, misalnya melakukan relaksasi, membuat pedoman harian,   berbagi  perasan  dan  pikiran  dengan  anggota keluarga/teman dekat atau kelompok dukungan.
  4. Apabila  dibutuhkan,  memfasilitasi  klien/pasien  untuk mengakses farmakoterapi sesuai dengan kondisi terkait kepada dokter.

  • Konseling pada Warga Binaan Pemasyarakatan

Konseling bagi Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) umumnya berjalan dalam format konseling individual. Konseling dapat dilakukan oleh konselor atau petugas kesehatan yang terlatih konseling. WBP pada umumnya mengalami gangguan jiwa ringan, terutama bila kondisi lapas/rutan melebihi kapasitas atau tidak terdapat program pengembangan diri yang berkesinambungan.

Hal-hal yang dapat dilakukan dalam konseling bagi WBP :
1) Mengkaji permasalahan yang dialami oleh WBP terkait perilaku berisiko HIV maupun gangguan jiwa.
2) Mendiskusikan strategi pengurangan risiko penularan HIV, termasuk mendorong penerapan praktek perilaku seks dan atau penggunaan  napza  yang  aman  apabila  yang bersangkutan aktif berhubungan seks atau menggunakan napza.
3) Mendiskusikan  strategi  mengatasi  stres  yang  mungkin dialami selama berada di lapas/rutan.
4) Memberikan informasi dimana klien/pasien dapat mengakses layanan selepas dari lapas/rutan
  •  Konseling Pengungkapan Status

Yang dimaksud dengan Pengungkapan status adalah memberitahukan status HIV kepada orang lain terkait  tindak lanjut yang bermanfaat. Pengungkapan status dalam banyak hal menguntungkan klien agar ia mendapat dukungan dalam proses pemulihan kesehatannya. Pada kasus dimana klien menolak membuka status HIV pada pasangannya, biasanya karena takut terjadi tindak kekerasan. Isu pembukaa status perlu didiskusikan pada konseling pra tes atau KIE sebelum konseling.
Tujuan dari Pengungkapan status adalah:
1) Memungkinkan pasangan mempunyai akses dini ke layanan terapi dan perawatan;
2) Menurunkan risiko penularan HIV;
3) Mencegah infeksi berulang dan IMS;
4) Mencegah resisten terhadap pengobatan.

Hal-hal  yang  menjadi  perhatian  utama  dalam  konseling Pengungkapan status:
1) Cara klien membuka statusnya: apakah akan dilakukan sendiri oleh klien atau dimediasi melalui konseling pasangan dengan melibatkan konselor.
2) Resistensi klien dalam pengungkapan statusnya: gali lebih dalam apa  yang  menjadi  penghambat  utama  dalam membuka statusnya, termasuk dalam hal ini adalah apabila klien  mengalami   kekerasan   domestik.   Akomodasi permasalahan    tersebut dengan  menyajikan  keuntungan membuka status kepada pasangan serta cara mengatasi hambatan    yang dialami. Strategi yang dapat dilakukan apabila klien berulangkali menolak membuka statusnya dan juga menolak  mempraktekkan  perilaku  yang  aman. Penolakan yang   terus   dilakukan   walaupun   telah berulangkali dilakukan konseling, dapat disiasati melalui pertemuan kelompok.
3) Pada anak dengan HIV positif statusnya dibuka bersama dengan orang  tua/wali/pengampu.  Informasi  diberikan secara bertahap  sesuai  perkembangan  psikologi  anak, sebaiknya           ini dilakukan oleh petugas yang memahami psikologi klinis anak.

Pengungkapan status HIV Anak bukan percakapan satu kali saja, melainkan suatu proses pemberian dukungan dan informasi yang berkesinambungan, serta penguatan secara terus-menerus seiring dengan pertumbuhan anak. Berbicara kepada anak dengan usia berbeda-beda membutuhkan pemberian pesan dan tingkat informasi yang berbeda. Orang tua atau pengasuh yang akan mengungkapkan status HIV anak, sebaiknya menguasai pengetahuan dasar HIV dan keterampilan komunikasi interpersonal.

Anak sebaiknya memiliki pengetahuan dasar dan pemahaman tentang HIV, sebelum kita mengungkapkan statusnya secara penuh dan anak sudah mengetahui status HIV  nya  sejak  usia  antara  10-11  tahun  namun  ini tergantung pada kematangan anak. Anak berhak untuk mengetahui status HIV nya tentunya dengan dukungan yang memadai dan mempunyai hak untuk mengungkapkan status HIV-nya atau tidak, serta kepada siapa. Pesan positif yang penuh kasih sayang harus digunakan setiap kali kita berbicara dengan anak tentang status HIV-nya.

Langkah-langkah pengungkapan status HIV anak:
a) Menilai kesiapan anak menerima.
Lakukan penilaian secara hati-hati dengan mempertimbangkan hal seperti usia, tingkat kematangan, tingkat keingintahuannya tentang HIV dan perhatikan apakah anak tampaknya mampu secara emosional untuk belajar dan menerima status HIV-positif nya serta maknanya.
b) Memilih tempat dan waktu yang tepat.
Pilih tempat yang nyaman dari berbagai gangguan dan untuk memulai percakapan, pilih waktu yang tepat saat anak berdua saja dengan pengasuh. Misalnya kesempatan yang baik untuk memulai percakapan adalah saat anak setiap bulan pergi ke rumah sakit untuk ARV.
c) Memeriksa pengetahuan anak dan membiarkan anak yang menuntun jalannya pengungkapan.
Mulailah percakapan dengan mengajak anak bertanya seputar pemahamannya tentang HIV. Dengan diketahuinya tingkat pemahaman anak tentang HIV dan maknanya, pengasuh dapat menangkap apa yang harus dijelaskan kepadanya. Pengasuh juga dapat mengajukan pertanyaan untuk memastikan apa yang dia ketahui dan memakai jawabannya sebagai tuntunan untuk pertanyaan selanjutnya.
d) Memberi  tahu  anak  tentang  status  HIV-nya  dan maknanya.
Berbicara kepada anak dengan usia berbeda-beda membutuhkan pemberian pesan dan tingkat informasi yang berbeda. Mendisukusikan hasil pemeriksaan penyakit, bila memungkinkan gunakan kata HIV sebagai pengganti kata virus terus penjelasan tentang minum obat seumur hidup agar tetap sehat. Bila minum obat tidak teratur, virus jadi lebih kuat dan obat jadi tidak mempan perlunya makan yang sehat, tidur teratur dan berolah raga. Jelaskan dia tetap bisa bermain dan ke sekolah, sama seperti yang lain. Status HIV adalah pribadi sifatnya dan hanya dikasih tau ke orang lain dengan persetujuan orang tua atau pengasuh. Jika anak bertanya tetap berikan jawaban sederhana.
e) Memastikan adanya percakapan tentang HIV secara berkala.
Percakapan seputar HIV dan AIDS dapat dimulai saat melihat atau mendengar iklan tentang HIV di TV, radio, atau ketika melihat baliho. Percakapan dan diskusi seputar HIV dan AIDS juga dapat dilakukan saat makan bersama dalam keluarga. Berhati-hatilah dalam membahas status HIV anak bila dalam keluarga masih ada yang belum mengetahui status HIV anak karena ini bisa menimbulkan keretakan dalam keluarga dan berdampak negatif terhadap anak. Pengaush sebaiknya selalu mengakhiri percakapan atau diskusi dengan pernyataan-pernyataan yang mendukung dan mendorong semangat.
f) Memberi dukungan pasca pengungkapan status HIV anak.
Apapun respon anak setelah status HIV-nya diungkapkan, selalu beri dukungan yang menguatkan dan  mendorong  semangat  anak.  Orang  tua  atau pengasuh sebaiknya menjadi tempat anak berkeluh kesah dan mencurahkan isi hatinya.


Setelah anak mengetahui status HIV-nya, orang tua atau pengasuh menilai sudah saatnya mengungkapkan status HIV anak kepada orang lain, ada baiknya orang tua/pengasuh dan anak membahas orang penting dalam kehidupan anak yang mungkin akan mendukungnya. Orang tua/pengasuh bersama anak bisa membuat gambar peta jaringan hubungan anak dengan orang lain dan dari situ membahas siapa saja yang mungkin akan diberitahu dan bagaimana cara memberitahunya.

Keberadaan  klien  bersama  dalam  kelompok  dukungan sebaya (KDS), dapat menginspirasi/memotivasi yang bersangkutan untuk belajar dari anggota kelompok lain terkait pengalaman mereka dalam menyingkapkan statusnya.


  • Konseling Gizi

Konseling gizi diberikan pada ODHA dan OHIDA. Jika diperlukan, dapat dilakukan rujukan kepada ahli gizi. Konseling gizi memberikan layanan untuk gizi dalam hal :
- Hidup sehat dan gizi seimbang,
- Gizi sesuai stadium penyakit,
- Gizi pada pemakaian ARV, dan
- Gizi pada ODHA dengan IO.


  • Konseling yang Berkaitan dengan Isu Gender

Istilah gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya, psikologis dan aspek non biologis lainnya. Istilah seks secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi dan juga jenis kelamin. Aspek biologi meliputi perbedaan anatomi fisiologi tubuh termasuk sistem reproduksi dan karakteristik biologis lainnya. Dalam TKHIV, maka konselor perlu memperhatikan isu gender untuk merespon hal-hal sebagai berikut:
1) Posisi tawar yang rendah pada perempuan terhadap laki-laki terutama dalam menerapkan perilaku yang aman. Perhatian khusus perlu diberikan terhadap perempuan pekerja seks terhadap pelanggan dan pasangannya.
2) Stigma, diskriminasi dan kriminalisasi terhadap pekerja seks.
3) Laki-laki  pelanggan  pekerja  seks  yang  terjebak  dan mempertahankan mitos kejantanan/keperkasaan.
4) Stigma dan diskriminasi oleh petugas layanan kesehatan termasuk konselor.
5) Pemahaman gender yang keliru dan dibawa dalam relasi seksual.

  1. Konseling Paliatif dan Dukacita
Perawatan paliatif (palliative care) atau layanan paliatif merupakan pendekatan guna memperbaiki kualitas hidup pasien dan keluarganya ketika menghadapi masalah terkait penyakit yang mengancam kehidupan melalui pencegahan dan pengurangan penderitaan dengan cara mengenali secara dini, menilai perjalanan dan terapi nyeri serta masalah lainnya, baik fisik, psikososial dan spiritual (WHO 2002). Tujuannya perawatan paliatif adalah membantu pasien memaksimalkan kualitas dan mengendalikan martabat hidupnya sebelum meninggal dunia. Pendekatan dilakukan secara aktif, holistik, terfokus pada pasien dan ditangani oleh profesi multidisiplin.

Hal-hal yang dapat dilakukan dalam konseling paliatif dan duka cita adalah:
1.       Penekanan pada mendengar aktif, terutama atas berbagai bahasa tubuh yang ditampilkan klien.
2.      Beri dukungan atas berbagai hal positif yang telah dilakukan klien selama ini. Apabila klien terus menerus didera perasaan negatif, bimbing klien untuk mengingat hal yang positif.
3.      Akomodasi berbagai pertanyaan seputar kematian, dimana pembahasan dapat diarahkan sesuai dengan keyakinan klien.
4.      Beri dukungan klien apabila yang bersangkutan tidak memperoleh dukungan keluarga/sosial yang cukup menjelang kematiannya. Yakinkan bahwa klien tidak pernah sendiri di dunia ini.

Selain model konseling lanjutan sebagaimana dimaksud di atas, ada beberapa hal yang harus dipikirkan oleh konselor:
  1. Ketidakmampuan untuk Membuat Keputusan
  2. Kesesuaian dengan Budaya
  3. Konfidensialitas Bersama
  4. Pengendalian Infeksi


Post a Comment

0 Comments