KONSELING DAN TES HIV



Konseling dan Tes HIV dilakukan dalam rangka penegakan diagnosis HIV dan AIDS, untuk mencegah sedini mungkin terjadinya penularan atau peningkatan kejadian infeksi HIV dan pengobatan lebih dini.


Konseling dan Tes HIV dilakukan melalui pendekatan:
  • Konseling dan Tes HIV atas Inisiatif Pemberi Pelayanan Kesehatan (KTIP), merupakan tes HIV dan konseling yang dilakukan kepada seseorang untuk kepentingan kesehatan dan pengobatan berdasarkan inisiatif dari pemberi pelayanan kesehatan
  • Konseling dan Tes HIV Sukarela (KTS), merupakan proses konseling sukarela dan tes HIV atas inisiatif individu yang bersangkutan.

Penyelenggaraan Konseling dan Tes HIV wajib terintegrasi dengan pelayanan KIA, KB, pelayanan kesehatan reproduksi, pelayanan kesehatan remaja, pelayanan IMS, pelayanan TB, pelayanan Hepatitis, serta pelayanan NAPZA dan rehabilitasi di fasilitas pelayanan kesehatan. Apabila dalam memberikan pelayanan Konseling dan Tes HIV diketahui pasien terinfeksi HIV, maka Petugas kesehatan atau konselor HIV wajib menganjurkan atau memberikan pengobatan sesuai kewenangannya.

PRINSIP DASAR TKHIV DAN AIDS

KTHIV merupakan pintu masuk utama pada layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan. Dalam kebijakan dan strategi nasional telah dicanangkan konsep akses universal untuk mengetahui status HIV, akses terhadap layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan HIV dengan visi
getting to zero, yaitu zero new HIV infection, zero discrimination dan zero AIDS related death.
Dalam pelaksanaanya, tes HIV harus mengikuti prinsip yang telah disepakati secara global yaitu 5 komponen dasar yang disebut 
5C (informed consent, confidentiality, counseling, correct test results, connections to, care,treatment and prevention services).
  1. Informed Consent, adalah persetujuan akan suatu tindakan pemeriksaan laboratorium HIV yang diberikan oleh pasien/klien atau wali/pengampu setelah mendapatkan dan memahami penjelasan yang diberikan secara lengkap oleh petugas kesehatan tentang tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien/klien tersebut.
  2. Confidentiality, adalah Semua isi informasi atau konseling antara klien dan petugas pemeriksa atau konselor dan hasil tes laboratoriumnya tidak akan diungkapkan kepada pihak lain tanpa persetujuan pasien/klien. Konfidensialitas dapat dibagikan kepada pemberi layanan kesehatan yang akan menangani pasien untuk kepentingan layanan kesehatan sesuai indikasi penyakit pasien.
  3. Counselling, yaitu proses dialog antara konselor dengan klien bertujuan untuk memberikan informasi yang jelas dan dapat dimengerti klien atau pasien. Konselor memberikan informasi, waktu, perhatian dan keahliannya, untuk membantu klien mempelajari keadaan dirinya, mengenali dan melakukan pemecahan masalah terhadap keterbatasan yang diberikan lingkungan. Layanan konseling HIV harus dilengkapi dengan informasi HIV dan AIDS, konseling pra-Konseling dan Tes pascates yang berkualitas baik.
  4. Correct test results.Hasil tes harus akurat. Layanan tes HIV harus mengikuti standar pemeriksaan HIV nasional yang berlaku. Hasil tes harus dikomunikasikan sesegera mungkin kepada pasien/klien secara pribadi oleh tenaga kesehatan yang memeriksa.
  5. Connections to, care, treatment and prevention services. Pasien/klien harus dihubungkan atau dirujuk ke layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan HIV yang didukung dengan sistem rujukan yang baik dan terpantau.

ISTILAH YANG PERLU DIPAHAMI


  • Acquired Immuno Deficiency Syndrome yang selanjutnya disingkat AIDS adalah suatu kumpulan gejala berkurangnya kemampuan pertahanan diri yang disebabkan oleh masuknya virus HIV dalam tubuh seseorang.
  • Anti Retroviral Therapy atau Terapi Antiretroviral (ART) adalah pengobatan untuk menghambat kecepatan replikasi virus dalam tubuh orang yang terinfeksi HIV.
  • CD4 (Cluster of Differentiation 4) adalah suatu limfosit/T helper cell yang merupakan bagian penting dari sel sistem kekebalan/imun.
  • ELISA atau Enzym Linked Immunosorbent Assay, adalah suatu pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi antibodi terhadap HIV
  • Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, sektor swasta dan/atau masyarakat
  • Hasil tes diskordan adalah istilah laboratorium yang merujuk kepada hasil tes yang positif pada satu tes, namun negatif pada tes lainnya.
  • Hasil tes indeterminan adalah hasil tes HIV yang belum jelas positif atau negatif.
  • Human Immunodeficiency Virus yang selanjutnya disingkat HIV adalah virus yang menyebabkan Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS).
  • Populasi Kunci terdiri dari Pekerja seks, pengguna narkoba suntik, waria, lelaki seks dengan lelaki dan Transgender.
  • Populasi beresiko adalah warga binaan pemasyarakatan, ibu hamil, pasien TB, kaum migran, pelanggan pekerja seks dan pasangan ODHA.
  • Kelompok minor adalah mereka yang belum dewasa, anak dan mereka yang masih terbatas kemampuan berpikir dan menimbang.
  • Klien adalah seseorang yang mencari atau mendapatkan pelayanan konseling dan atau tes HIV.
  • Konselor HIV adalah seseorang yang memberikan konseling tentang HIV dan telah terlatih.
  • Konseling HIV dan AIDS adalah proses dialog antara konselor dengan pasien/klien atau antara petugas kesehatan dengan pasien yang bertujuan untuk memberikan informasi yang jelas dan dapat dimengerti oleh pasien atau klien. Konselor memberikan waktu dan perhatian, untuk membantu klien mempelajari keadaan dirinya, mengenali dan melakukan pemecahan masalah terhadap keterbatasan yang diberikan lingkungan.
  • Konseling pasangan adalah konseling yang dilakukan terhadap pasangan seksual klien ataupun pasangan tetap klien.
  • Konseling pasca tes adalah diskusi antara konselor dengan klien atau antara pemberi pelayanan kesehatan dengan pasien, bertujuan menyampaikan hasil tes HIV klien serta membantu pasien/klien beradaptasi dengan hasil tesnya.
  • Konseling pra tes adalah dialog antara klien dan konselor dalam kerangka KTS yang bertujuan menyiapkan klien menjalani tes HIV dan membantu klien memutuskan akan tes atau tidak.
  • Konseling pra tes kelompok adalah komunikasi, edukasi dan informasi atau diskusi antara konselor dengan beberapa klien, biasanya antara 5 sampai 10 orang, bertujuan untuk menyiapkan mereka menjalani tes HIV.
  • Orang yang hidup dengan HIV dan AIDS (ODHA) adalah orang yang telah terinfeksi HIV
  • Pasangan diskordan adalah pasangan seksual yang salah satunya adalah ODHA.
  • Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah suatu metode pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi antigen HIV (RNA/DNA).
  • Pemangku kepentingan adalah individu atau kelompok yang mempunyai kepentingan terhadap suatu kondisi, sejak perencanaan, proses, pelaksanaan serta hasil maupun dampaknya.
  • Pengelola/pengurus tempat kerja adalah orang/bagian dari organisasi kerja yang mempunyai tugas memimpin dan mengelola suatu tempat kerja.
  • Populasi berisiko adalah populasi yang rentan terhadap penularan HIV (termasuk pekerja yang bekerja dengan mobilitas tinggi, atau sering berpisah dengan keluarganya).
  • Periode jendela adalah suatu periode atau masa sejak orang terinfeksi HIV sampai tubuh orang tersebut membentuk antibodi melawan HIV yang cukup untuk dapat dideteksi dengan tes antibodi HIV.
  • Petugas psikososial atau petugas non medis adalah orang yang memberikan layanan di bidang psikologis dan sosial terkait dengan HIV dan AIDS.
  • Refusal Consent adalah penolakan yang dilakukan oleh pasien/klien secara tertulis untuk tidak dilakukan prosedur (tes HIV, operasi, tindakan medis lainnya) bagi dirinya atau atas spesimen yang berasal dari dirinya. Juga termasuk persetujuan memberikan informasi tentang dirinya untuk suatu keperluan penelitian.
  • Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
  • Tes cepat HIV / Rapid Diagnostic Test adalah suatu metode pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi antibodi HIV.
  • Tes cepat HIV paralel adalah tes HIV dengan reagen yang berbeda yang dikerjakan bersamaan yang hasilnya didapat kurang dari 2 jam.
  • Tes cepat HIV serial adalah suatu tes HIV dengan reagen yang berbeda dilakukan satu sesudah lainnya yang hasilnya didapat kurang dari 2 jam.
  • Tes HIV adalah pemeriksaan terhadap antibodi yang terbentuk akibat masuknya HIV kedalam tubuh, atau pemeriksaan antigen yang mendeteksi adanya virus itu sendiri atau komponennya.
  • Tes ulang adalah tes HIV pada orang yang pernah melakukan tes sebelumnya dan memperoleh hasilnya.
  • Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi oleh bakteri tuberkulosa. TB seringkali merupakan infeksi yang menumpang pada mereka yang telah terinfeksi HIV.

PENYELENGGARAAN KONSELING DAN TES HIV




Beberapa alasan seseorang melakukan KTHIV adalah:
  1. Orang atau pasangan yang ingin mengetahui status HIVnya;
  2. Ibu hamil yang masuk dalam Program Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA);
  3. Penegakan diagnosis untuk keperluan pasien (pasien Hepatitis, pasien TB, pasien IMS, ibu hamil, bayi yang lahir dari ibu dengan HIV);
  4. Pasien yang diduga telah terinfeksi HIV
  5. Penapisan darah donor transfusi atau organ tubuh;
  6. Tata laksana Profilaksis Pasca Pajanan (PPP) setelah terjadinya tusukan pada kecelakaan kerja okupasional;
  7. Prosedur pemeriksaan dalam kasus perkosaan; dan
  8. Perintah pengadilan dari terdakwa dalam kasus kejahatan seksual dan sebagainya.

Secara umum, pemeriksaan HIV dilakukan untuk tujuan penapisan darah donor dan transplantasi, surveilans, dan penegakan diagnosis.

PELAKSANAAN KONSELING DAN TES HIV ATAS INISIASI PEMBERI LAYANAN KESEHATAN (KTIP)


Konseling dan Tes HIV atas inisiasi pemberi layanan kesehatan dan konseling (KTIP) adalah Tes HIV yang dianjurkan atau ditawarkan oleh petugas kesehatan kepada pasien pengguna layanan kesehatan sebagai komponen pelayanan standar layanan kesehatan di fasilitas tersebut.
Tujuan umum dari KTIP adalah untuk melakukan diagnosis HIV secara lebih dini dan memfasilitasi pasien untuk mendapatkan pengobatan HIV serta untuk memfasilitasi pengambilan keputusan klinis atau medis terkait pengobatan Antiretroviral (ARV), yang dibutuhkan dimana hal tersebut tidak mungkin diambil tanpa mengetahui status HIV nya.
Langkah-langkah        dalam melaksanakan KTIP di fasilitas pelayanan kesehatan:

1. PEMBERIAN INFORMASI TENTANG HIV DAN AIDS SEBELUM TES

Pemberian Informasi ini terdiri atas beberapa sasaran sebagai berikut :

1. Sesi informasi pra-tes secara kelompok


Sesi ini dapat dilaksanakan sebagai pilihan bila sarana memungkinkan. Semua pasien atau klien yang datang ke layanan kesehatan terutama di layanan TB, IMS, PTRM, LASS, KIA, KB, layanan untuk populasi kunci dan pada kelompok pekerja yang berisiko ataupun klien yang datang ke layanan KTS untuk mencari layanan Tes HIV secara sukarela, dapat diberikan KIE secara kelompok di ruang tunggu sebelum bertatap muka dengan petugas yang bersangkutan sambil menunggu gilirannya dilayani.
KIE tersebut hendaklah diselenggarakan secara rutin dan berkala sesuai kondisi tempat layanan dengan topik kesehatan secara umum dan masalah yang berkaitan dengan HIV dan AIDS.
Informasi kelompok hendaknya meliputi komponen penting yang dibutuhkan pasien atau klien seperti:
  1. Informasi dasar HIV dan AIDS,
  2. Upaya pencegahan yang efektif, termasuk penggunaan kondom secara konsisten, mengurangi jumlah pasangan seksual, penggunaan alat suntik steril dan lainnya.
  3. Keuntungan dan pentingnya tes HIV sedini mungkin.
  4. Informasi tentang proses pemeriksaan laboratorium HIV
  5. Membahas konfidensialitas, dan konfidensialitas bersama
  6. Membahas pilihan untuk tidak menjalani tes HIV
  7. Tawaran untuk menjalani tes pada masa mendatang bila klien belum siap
  8. Pentingnya pemeriksaan gejala dan tanda penyakit TB selama konseling pra dan pasca-tes
  9. Rujukan ke layanan yang terkait dengan HIV, seperti misalnya konsultasi gizi, pemeriksaan dan pengobatan TB, pemeriksaan IMS, pemeriksaan CD4, tatalaksana infeksi oportunistik dan stadium klinis.

Persetujuan untuk menjalani tes HIV (informed consent) harus selalu diberikan secara individual dengan kesaksian petugas kesehatan. Pasal 45 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa Persetujuan Tindakan Kedokteran atau Kedokteran Gigi diberikan setelah pasien mendapatkan penjelasan secara lengkap.


2.     Sesi informasi pra-tes secara individual


Pada sesi individual, pasien/klien mendapatkan informasi edukasi dari petugas kesehatan/konselor tentang HIV untuk menguatkan pemahaman pasien/klien atas HIV dan implikasinya agar ia mampu menimbang perlunya pemeriksaan. Edukasi meliputi:
  1. Informasi dasar tentang HIV dan AIDS;
  2. Penularan dan pencegahan;
  3. Tes HIV dan konfidensialitas;
  4. Alasan permintaan tes HIV;
  5. Ketersediaan pengobatan pada layanan kesehatan yang dapat diakses;
  6. Keuntungan membuka status kepada pasangan dan atau orang dekatnya;
  7. Arti tes dan penyesuaian diri atas status baru; dan
  8. Mempertahankan dan melindungi diri serta pasangan/keluarga agar tetap sehat.
Edukasi juga disertai dengan diskusi, artinya tersedia kesempatan pasien/klien bertanya dan mendalami pemahamannya tentang HIV dan status HIV. Petugas kesehatan/Konselor juga memberi dukungan atas keadaan psikologik klien. Sesudah edukasi dan menimbang suasana mental emosional, pasien/klien dimintai persetujuan untuk tes HIV (informed consent) dan dilanjutkan pemeriksaan laboratorium darah.

3.     Sesi Informasi Pra-Tes Pada Kelompok Khusus

Ada beberapa kelompok masyarakat yang lebih rentan terhadap dampak buruk seperti diskriminasi, pengucilan, tindak kekerasan, atau penahanan. Dalam hal tersebut maka perlu diberi informasi lebih dari yang minimal di atas, untuk meyakinkan informed- consent nya.
  • Perempuan Hamil
Fokus pemberian informasi pra tes bagi perempuan hamil meliputi:
  1. Risiko penularan HIV kepada bayi yang dikandungnya;
  2. Pengurangan risiko penularan HIV dari ibu dengan HIV positif kepada janin yang dikandungnya, antara lain melalui terapi          antiretroviral, persalinan aman dan pemberian makanan bayi; dan
  3. Manfaat diagnosis HIV dini bagi bayi yang akan dilahirkan.
  • Bayi, Anak dan Remaja
Pemberian informasi dalam penawaran tes HIV pada anak perlu dilakukan bersama dengan orangtua atau wali/pengampunya. Perlu ada pertimbangan khusus bagi anak dan remaja di bawah umur secara hukum (pada umumnya <18 tahun). Sebagai individu di bawah umur yang belum punya hak untuk membuat/memberikan informed-consent, mereka tetap punya hak untuk terlibat dalam semua keputusan yang menyangkut kehidupannya dan mengemukakan pandangannya sesuai tingkat perkembangan umurnya. Dalam hal ini diperlukan informed-consent dari orang tua atau wali/pengampu.

Fokus informasi pada anak dan remaja meliputi:
  1. Informasi dasar HIV dan AIDS secara singkat
  2. Informasi tentang pencegahan, pengobatan dan perawatan
  3. Masalah penyingkapan status HIV kepada anak pada saatnya
  4. Masalah stigma dan diskriminasi di lingkungan keluarga dan masyarakat setempat.
  • Individu dalam kondisi khusus
Individu dalam kondisi khusus adalah individu yang mengalami hambatan fisik dan/atau mental dan individu yang akibat keadaan tertentu mengalami kekerasan, penelantaran, perdagangan manusia dan individu yang berhadapan dengan hukum. Individu yang mengalami hambatan mental perlu terapi mental emosionalnya lebih dahulu sebelum pemberian edukasi dan menjalankan tes. Seringkali diperlukan pengampuan pada mereka yang tidak dapat mengambil keputusan sehat. 
Fokus informasi prates pada individu khusus meliputi:
  1. Informasi dasar HIV dan AIDS;
  2. Informasi tentang pencegahan, pengobatan dan perawatan;
  3. Bila perlu dilakukan konseling oleh konselor yang memahami persoalan kebutuhan khusus tersebut.
  • Pasien dengan kondisi kritis
Sekalipun pasien dalam kondisi kritis (adanya penurunan kesadaran), tidak dibenarkan dilakukan tes HIV tanpa persetujuan yang bersangkutan. Pemberian informed consent sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemberian informasi pra tes pada pasien tersebut dilakukan setelah kondisi kritis teratasi.

  • Pasien TB
Banyak pasien TB tidak menyadari kemungkinan komorbiditas dengan HIV, sehingga petugas kesehatan perlu memberikan informasi tentang keterkaitan HIV dengan TB yang dilanjutkan dengan penawaran tes. Dalam penawaran tes HIV, kepada pasien TB diberikan informasi HIV dan jika pasien setuju untuk dilakukan tes HIV selanjutnya akan dilakukan tes, namun bilamana pasien TB menolak untuk dilakukan tes HIV, maka pasien TB harus menandatangani surat penolakan tes HIV selanjutnya petugas TB merujuk ke konselor untuk dilakukan konseling dan tes HIV.
  • Kelompok berisiko (penasun, pekerja seks, waria, LSL)
Informasi pra tes pada kelompok ini dapat didahului dengan penyuluhan kelompok oleh penjangkau. Materi bahasan dalam penyuluhan kelompok:
  1. Informasi dasar tentang HIV dan AIDS;
  2. Informasi dasar tentang cara penularan dan mengurangi risiko HIV
  3. Demonstrasi dan diskusi tentang penggunaan kondom atau alat suntik steril;
  4. Keuntungan dan isu potensial berkaitan dengan konseling;
  5. Prosedur tes HIV dan penyampaian hasil tes HIV
  6. Informasi rujukan dan dukungan.
Peserta penyuluhan kelompok yang tertarik untuk tes HIV diarahkan untuk mendapatkan konseling individual.

2. PERSETUJUAN TES HIV (INFORMED CONCENT)

Informed consent bersifat universal yang berlaku pada semua pasien apapun penyakitnya karena semua tindakan medis pada dasarnya membutuhkan persetujuan pasien.
Aspek penting di dalam persetujuan adalah sebagai berikut:
  1. Klien telah memahami tentang maksud dan tujuan tes, serta risiko dan dampaknya;
  2. Informasi bahwa jika hasil tes positif, akan dirujuk ke layanan HIV termasuk pengobatan ARV dan penatalaksanaan lainnya;
  3. Bagi mereka yang menolak tes HIV dicatat dalam catatan medik untuk dilakukan penawaran tes dan atau konseling ulang ketika kunjungan berikutnya;
  4. Persetujuan untuk anak dan remaja di bawah umur diperoleh dari orangtua atau wali/pengampu; dan
  5. Pada pasien dengan gangguan jiwa berat atau hendaya kognitif yang tidak mampu membuat keputusan dan secara nyata berperilaku berisiko, dapat dimintakan kepada isteri/suami atau ibu/ayah kandung atau anak kandung/saudara kandung atau pengampunya.

Beberapa isu terkait persetujuan tes HIV:
  • Konfidensialitas

Konfidensialitas berlaku secara umum. Semua informasi pasien apapun penyakitnya, yang berdasarkan undang-undang bersifat konfidensial tidak boleh diberikan pada pihak yang tidak berkepentingan, yang berarti seorang petugas kesehatan/konselor tidak diperkenankan menyampaikan hasil kepada siapapun di luar kepentingan kesehatan klien tanpa seijin klien, kecuali:
a.      Klien membahayakan diri sendiri atau orang lain;
b.      Tidak mampu bertanggung jawab atas keputusan/tindakannya;
c.       Atas permintaan pengadilan/hukum/undang-undang.
Konfidensialitas tidak bersifat mutlak. Dalam hal ini konselor/petugas kesehatan dapat berbagi hasil tes HIV pasien jika memang dibutuhkan, seperti kepada:
  1. tenaga kesehatan yang akan melayani atau mereka yang berkompeten dan berhubungan secara langsung menangani kesehatan klien, misalnya jika pasien membutuhkan dokter penyakit paru, dokter kebidanan, bidan yang akan memberikan layanan kesehatan kepadanya, rujukan pada tenaga kesehatan lainnya yang diperlukan pasien
  2. Pengawas Minum Obat atau kelompok dukungan sebaya;
  3. keluarga terdekat dalam hal yang bersangkutan tidak cakap;
  4. pasangan seksual; dan
  5. pihak lain sesuai ketentuan undang-undang.

  • Penolakan untuk Menjalani Tes HIV
Penolakan untuk menjalani tes HIV tidak boleh mengurangi kualitas layanan lain yang tidak terkait dengan status HIVnya. Pasien yang menolak menjalani tes perlu terus ditawari kembali pada kunjungan berikutnya atau ditawarkan untuk menjalani sesi konseling di Klinik KTS oleh seorang konselor terlatih di masa yang akan datang jika memungkinkan. Penolakan tersebut harus dicatat di lembar catatan medisnya agar diskusi dan tes HIV ditawarkan kembali pada kunjungan yang akan datang.

3. PENGAMBILAN DARAH UNTUK TES


Tes HIV idealnya dilakukan di laboratorium yang tersedia di fasilitas layanan kesehatan. Jika layanan tes tidak tersedia di fasilitas tersebut, maka tes dapat dilakukan di laboratorium rujukan. Metode tes HIV yang digunakan sesuai dengan Pedoman Pemeriksaan Laboratorium HIV Kementerian Kesehatan.
Hasil tes cepat dapat ditunggu oleh pasien. Tes cepat dapat dilakukan di luar sarana laboratorium, tidak memerlukan peralatan khusus dan dapat dilaksanakan di fasilitas kesehatan primer oleh paramedis terlatih. Tes cepat tidak dianjurkan untuk jumlah pasien yang banyak.

Tes Enzyme ImmunoAssay (EIA) biasanya dilakukan di fasilitas layanan kesehatan dengan sarana laboratorium yang lengkap dan petugas yang terlatih dengan jumlah pasien yang lebih banyak . Setiap dilakukan pemeriksaan harus mencantumkan nama dan jenis reagen yang digunakan menggunakan contoh Formulir 5 sebagaimana terlampir.

Pemilihan antara menggunakan tes cepat HIV atau tes ELISA harus mempertimbangkan faktor tatanan tempat pelaksanaan tes HIV, biaya dan ketersediaan perangkat tes, reagen dan peralatan; pengambilan sampel, transportasi, SDM serta kesediaan pasien untuk kembali mengambil hasil.

Tes HIV secara serial adalah apabila tes yang pertama memberi hasil non- reaktif, maka tes antibodi akan dilaporkan negatif. Apabila hasil tes pertama menunjukkan reaktif, maka perlu dilakukan tes HIV kedua pada sampel yang sama dengan menggunakan reagen, metoda dan/atau antigen yang berbeda dari yang pertama. Perangkat tes yang persis sama namun dijual dengan nama yang berbeda tidak boleh digunakan untuk kombinasi tersebut. Hasil tes kedua yang menunjukkan reaktif kembali maka di lanjutkan dengan tes HIV ketiga. Standar Nasional untuk tes HIV adalah menggunakan alur serial karena lebih murah dan tes kedua hanya diperlukan bila tes pertama memberi hasil reaktif saja.

Tes virologi HIV DNA kualitatif dianjurkan untuk diagnosis bayi dan anak umur kurang dari 18 bulan dan perempuan HIV positif yang merencanakan kehamilan dan persalinan. Tes HIV untuk anak umur kurang dari 18 bulan dari ibu HIV-positif tidak dianjurkan dengan tes antibodi, karena akan memberikan hasil positif palsu.


Interpretasi Hasil Pemeriksaan Anti HIV
Hasil Positif:
·         Bila hasil A1 reaktif, A2 reaktif dan A3 reaktif
Hasil Negatif:
·         Bila hasil A1 non reaktif
·         Bila hasil A1 reaktif tapi pada pengulangan A1 dan A2 non reaktif
·         Bila salah satu reaktif tapi tidak berisiko
Hasil Indeterminate:
      Bila dua hasil tes reaktif
      Bila hanya 1 tes reaktif tapi berisiko atau pasangan berisiko

Tindak Lanjut Pemeriksaan Anti HIV
Tindak lanjut hasil positif:
 Rujuk ke Pengobatan HIV
Tindak lanjut hasil negatif:
    Bila hasil negatif dan berisiko dianjurkan pemeriksaan ulang minimum 3 bulan, 6 bulan dan 12 bulan dari pemeriksaan pertama sampai satu tahun.
    Bila hasil negatif dan tidak berisiko dianjurkan perilaku hidup sehat
Tindak lanjut hasil indeterminate:
  • Tes perlu diulang dengan spesimen baru minimun setelah dua minggu dari pemeriksaan yang pertama.
  • Bila  hasil  tetap  indeterminate,  dilanjutkan  dengan pemeriksaan PCR.
  • Bila sarana pemeriksaan PCR tidak memungkinkan, rapid tes diulang 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan dari pemeriksaan yang          pertama

4. PENYAMPAIAN HASIL TES

Penyampaian hasil tes dilakukan oleh petugas kesehatan yang menawarkan tes HIV. Penyampaian hasil tes dimaksudkan, untuk memastikan pemahaman pasien atas status HIVnya dan keterkaitan dengan penyakitnya. Hal-hal berikut dilakukan oleh petugas pada penyampaian hasil tes:
  1. Membacakan hasil tes;
  2. Menjelaskan makna hasil tes;
  3. Memberikan informasi selanjutnya; dan
  4. Merujuk pasien ke konselor HIV untuk konseling lanjutan dan ke layanan pengobatan untuk terapi selanjutnya.
Merujuk pasien ke konselor HIV untuk konseling lanjutan dan ke layanan pengobatan untuk terapi selanjutnya. Hal penting dalam menyampaikan hasil Tes : 

  1. Periksa  ulang  seluruh  hasil  tes  klien/pasien  dalam  data klien/catatan medik. Lakukan hal ini sebelum bertemu klien/pasien untuk memastikan kebenarannya.
  2. Hasil  tes  tertulis  tidak  diberikan  kepada  klien/pasien.  Jika klien/pasien memerlukannya, dapat diberikan salinan hasil tes HIV dan dikeluarkan dengan tandatangan dokter penanggungjawab
           

5. KONSELING PASCA TES

Semua klien/pasien yang menjalani tes HIV perlu menerima konseling pasca tes tanpa memandang apapun hasilnya. Konseling pasca tes membantu klien/pasien memahami dan menyesuaikan diri dengan hasil tes dan tindak lanjut pengobatan. Hasil dari konseling pasca tes yang dilakukan konselor mendokumentasikan dalam buku kunjungan klien, formulir ini dapat dibuat oleh masing-masing layanan. Tidak ada bentuk formulir khusus, mengingat buku kunjungan klien akan bervariasi tergantung dari kebutuhan informasi di setiap layanan.

F.    RUJUKAN KE LAYANAN PDP BAGI YANG POSITIF

Klien/pasien yang hasil tesnya positif perlu segera dirujuk ke layanan perawatan, dukungan dan pengobatan untuk mendapatkan layanan selanjutnya yang dibutuhkan.

Post a Comment

0 Comments