EPIDEMIOLOGI PENCEGAHAN DAN PENULARAN PENYAKIT HIV DAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL PADA KEHAMILAN


2.1  HIV/AIDS
2.1.1      Pengertian HIV/AIDS
HIV adalah penyakit yang menyerang sisitem kekebalan tubuh dan AIDS adalah kumpulan gejala akibat kekurangan atau kelemahan sistem kekebalan tubuh yang dibentuk setelah lahir (Sarwono, Ilmu Kebidanan).
AIDS merupakan singkatan dari Acruired Immuno Deficiency Syndrome. AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang merusak kekebalan tubuh, sehingga tubuh mudah diserang oleh penyakit-penyakit lain yang dapat berakibat fatal. Selain penyakit infeksi, penderita HIV juga rentan terkena kanker. Dengan demikian gejala AIDS sangat bervariasi.
2.1.2      Gejala HIV/AIDS
Meskipun pasien baru saja dinyatakan terinfeksi HIV, biasanya selama beberapa tahun pasien akan menunjukkan periode “klinik-laten” antara infeksi HIV, tanda dan gejala klinis AIDS, replikasi HIV dan sisitem imun pejamu merusak sejak awal infeksi. Individu yang terinfeksi HIV tidak akan menunjukkan tanda dan gejala infeksi . pada orang dewasa yang terinfeksi, fase ini berlangsung selama 8-10 tahun. HIV-ELISA dan Western Blot atau Imunofluorescense Assay (IFA) menunjukkan hasil positif dengan jumlah limfosit CD4+> 500 sel/µl.
Individu yang telah terinfeksi telah nampak sehat selama beberapa tahun dan tanda gejala minor dan infeksi HIV mulai nampak. Individu mulai menunjukkan candidiasis, limfadenopati, kanker serviks,Herpes zoster dan neuropati perifer. Jumlah virus dalam darah akan menunjukkan peningkatan sementara pada saat yang sama jumlah limfosit CD4+  menurun hingga mencapai 500 sel/µl. Individu dengan kondisi seperti ini, akan tetap dengan kondisi seperti ini. Keadaan ini bersifat tidak tetap karena dapat berkembang menjadi tahap lanjut apabila kondisinya semakin parah.
Selanjutnya individu yang telah terinfeksi HIV menunjukkan infeksi dan keganansan yang mengancam kehidupan. Perkembangan pneumonia, toxoplasmosis, dan infeksi lainya bisa saja terjadi. Individu pun akan mengalami penurunan berat badan, jumlah virus meningkat dan jumlah limfosit akan menurun < 200 sel/µl. Pada keadaan ini penderita akan dinyatakan sebagai penderita AIDS.
Individu yang terinfeksi HIV menunjukkan perkembangan infeksi oportunistik baru seperti infeksi sisitemegalovirus, meningitis cryptococcal, dan infeksi lain yang biasanya terjadi sekunder terhadap penurunan sistem imun. Jumlah virus sangat meningkat dan jumlah limfosit CD4+< 50 sel/µl. Kematian bisa saja dikatakan sudah sangat dekat. Sekali saja kondisi seperti ini terjadi, maka individu akan tetap pada fase seperti ini walaupun terdapat kemungkinan kondisi seperti ini masih dapat berubah.
2.1.3      Etiologi HIV/AIDS
Dengan melihat tempat hidup HIV, tentunya dapat diketahui penularan HIV terjadi jika terdapat cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti hubungan seks dengan pasangan yang mengidap HIV, jarum suntik dan alat-lat penusuk (tato, penindik dan cukur) yang tercemar HIV dan ibu hamil yang mengidap HIV kepada janin atau disusui oleh wanit yang mengidap HIV. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang terkena HIV lebih mungkin tertular. Walaupun janin dalam kandungan dapat terinfeksi, sebagian besar penularan terjadi waktu melahirkan ataun cukur) yang tercemar HIV dan ibu hamil yang mengidap HIV kepada janin atau disusui oleh wanit yang mengidap HIV. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang terkena HIV lebih mungkin tertular. Walaupun janin dalam kandungan dapat terinfeksi, sebagian besar penularan terjadi waktu melahirkan ataun cukur) yang tercemar HIV dan ibu hamil yang mengidap HIV kepada janin atau disusui oleh wanit yang mengidap HIV. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang terkena HIV lebih mungkin tertular. Walaupun janin dalam kandungan dapat terinfeksi, sebagian besar penularan terjadi waktu melahirkan ataun cukur) yang tercemar HIV dan ibu hamil yang mengidap HIV kepada janin atau disusui oleh wanit yang mengidap HIV. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang terkena HIV lebih mungkin tertular. Walaupun janin dalam kandungan dapat terinfeksi, sebagian besar penularan terjadi waktu melahirkan ataumenyusui, bayi akan lebih mudah tertular apabila persalinan berlangsung lebih lama. Selama dalam persalinan, bayi dalam keadaan beresiko tertular oleh darah ibu.
2.1.4      Cara penularan HIV/AIDS
1.      Hubungan seksual dengan pengidap HIV / AIDS
Hubungan seksual secara vaginal, anal dan oral dengan penderita HIV tanpa pelindung dapat menularkan HIV. Selama hubungan seksual berlangsung, air mani, cairan vagina dan darah dapat mengenai selaput lendir vagina, penis, dubur atau mulut sehingga HIV yang terdapat dalam cairan tersebut dapat masuk ke dalam aliran darah (PELKESI, 1995).
2.      Ibu pada bayinya
Penularan HIV dari ibu bisa terjadi pada saat kehamilan. Berdasarkan laporan CDC Amerika, prevalensi penularan HIV dari ibu ke bayi adalah 0,01% - 0,7%. Bila ibu baru terinfeksi HIV dan belum ada gejala AIDS kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20 % -30%. Sedangkan jika ibu sudah terkena AIDS, kemungkinan bayi terkena HIV sebesar 50%. Penularan terjadi selama proses persalinan melalui transfusi fetomaternal atau kontak antara kulit atau membran mukosa bayi dengan darah atau sekresi maternal saat melahirkan (Lily V,2004). Semakin lama proses persalinan, semakin besar resiko penularan. Oleh karena itu, lama persalinan dapat dipersingkat dengan melakukan operasi caesar.
3.      Darah dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS
Sangat cepat menularkan HIV karena virus langsung masuk ke pembuluh darah dan menyebar ke seluruh tubuh.
4.      Pemakaian alat kesehatan yang tidak steril
Alat pemeriksaan kandungan seperti spekulum, tenakulum, dan alat-alat lain akan menyentuh darah, cairan vagina atau air mani yang terinfeksi HIV dan langsung digunakan untuk orang lain yang tidak terinfeksi bisa menularkan HIV.
5.      Alat-alat untuk menoreh kulit
Alat-alat tajam dan runcing seperti jarum, pisau, silet yang digunakan untuk menyunat, mentato, memotong rambut dapat mnularkan HIV sebab mungkin saja alat tersebut dipakai tanpa disterilkan terlebih dahulu.
6.      Menggunaka jarum suntik secara bergantian
Jarum suntik yang terdapat di fasilitas kesehatan, maupun yang digunakan oleh para pengguna narkoba sangat berpotensi menularkan HIV.
2.1.5      Cara Pencegahan
1.      Dengan pemberian penyuluhan kesehatan di sekolah dan di masyarakat dan harus menekan kan jika memiliki pasangan seksual yang berganti-ganti serta penggunaan obat suntik yang bergantian dapat meningkatkan resiko terkena HIV.
2.      Dengan melakukan hubungan seks dengan 1 pasangan saja dan tidak terinfeksi dengan HIV. Jika pun terpaksa, gunakan pelindung dengan menggunakan kondom dengan cara yang benar.
3.      Memperbanyak fasilitas pengobatan bagi pecandi obat-obatan terlarang yang akan mengurangi penularan HIV.
4.      Menyediakan fasilitas konseling HIV dimana identitas penderita dirahasiakan dan menyediakan tempat-tempat untuk melakukan pemeriksaan darah.
5.      Setiap wanita hamil sebaiknya sejak awal kehamilan disarankan untuk melakukan tes HIV sebagai kegiatan rutin dan standar awal kehamilan.
6.      Hindari penggunaan narkoba dan pastikan jika akan menggunakan jarum suntik, gunakan yang sekali pakai dan tidak diguakan secara berulang-ulang.
7.      Sikap hati-hati harus dilakukan pada waktu pennaganan, pemakaian dan penggunaan benda tajam. Petugas kesehatan harus menggunakan sarung tangan lateks dan masker sebagai APD agar tidak mengenai cairan tubuh pasien.
2.2  Infeksi Menular Seksual
2.2.1        Pengertian Infeksi Menular Seksual
Infeksi menular seksual adalah infeksi yang ditularkan dari satu orang ke orang lainya melalui hubunganseksual. Meskipun demikian, tidak berarti jika semuanya harus melalui hubungan kelamin, tetapi beberapa ada juga yang ditularkan melalui kontak langsung dengan alat-alat, handuk, termometer dan sebagainya. Selain itu penyakit ini juga dapat ditularkan kepada bayi dalam kandungan
2.2.2        Jenis-Jenis Infeksi Menular Seksual
1.      Gonore
Gonore mencakup semua penyakit yang disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae. Infeksi terutama mengenai epitel saluran kemih dan kelamin. Gonore bersama IMS lain memfasilitasi transmisi dari HIV.
2.      Sifilis.
Penyakit sifilis merupakan penyakit yang telah lama dikenal oleh masyarakat sebagai akibat dari berhubungan seks bebas dan berganti-ganti pasangan. Sifilis diseabkan oleh bakteri yang berukuran sangat kecil yang dinamakan Treponema Pallidium. Bakteri ini masuk ke dalam tubuh melalui infeksi pada bagian tubuh melalui infeksi pada bagian tubuh yang lembab dan yang memiliki lapisan mukosa, misalnya pada mulut dan kelamin.
3.      Herpes Genital
Herpes genitali adalah infeksi akut yang disebabkan karena virus herpes simplex yang ditandai dengan timbulnya vesikula pada permukaan mukoda kulit dan berwarna kemerahan. Herpes genitaki ini menular melalui kontak antar kulit, ciuman, hubunga seksual dan oral seks.
4.      Klamidia
Klamidia merupakan penyakit kelamin yang dapat menginfeksi penis, vagina, serviks, dubur, saluran kencing, mata atau tenggorokan. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Chlamydia trachomatis. Penyebab penyakit klamidia antara lain karena free sex, aktivitas seksual yang tidak sehat, tidak menggunakan pengaman atau kondom disaat berhubungan, tidak bisa menjaga kesehatan organ intim dan pola hidup yang tidak sehat.
5.      Trikomoniasis
Trikomoniasis adalah suatu penyakit menular seksual yang menyerang pada vagina atau uretra yang disebabkan oleh Trichomonas vaginalis. Meskipun organisme ini menginfeksi saluran kemih pria dan wanita, namun gejala dari penyakit ini lebih sering ditemukan pada wanita. Sekitar 20% wanita pernah mengalami penyakit ini selama masa reproduktifnya. Pada pria organisme ini menginfeksi uretra, prostat, dan kandung kemih tetapi kasusnya jarang menimbulkan gejala.
2.2.3        Cara penularan IMS
Cara penularan ims yaitu dengan cara konta langsung yaitu kontak langsung dengan eksudat infeksius dari lesi kulit atau selaput lendir pada saat melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang telah tertular. Penularan juga dapat terjadi dengan cara lain, yaitu :
1.      Transfusi darah dengan darah yang sudah terinfeksi HIV
2.      Saling bertukar jarum suntik dan pemakaian narkoba
3.      Tertusuk jarum suntik yang tidak steril secara sengaja maupun tidak sengaja
4.      Pemakaian alat pisau cukur secara bersama-sama (khususnya jika terluka dan menyisakan darah pada alat)
2.2.4        Cara Pencegahan IMS
Pencegahan dilakukan melalui dua bagian, yaitu pencegahan primer dan pencegahan sekunder. Pencegahan primer dilakukan dengan aktivitas seksual yang aman dan penggunaan kondom. Sedangkan pencegahan sekunder dilakuka dengan pengobatan dan perawatan pada pasien yang telah terinfeksi oleh infeksi menular seksual. Pencegahan primer dapat dicapai melalui promosi perilaku pencarian pengobatan untuk pasien infeksi menular seksual, pengobatan yang cepat dan tepat pada pasien serta pemberian dukungan dan konseling tentang infeksi menular seksual dan HIV. Langkah-langkah untuk mencegah terjadinya ims adalah :
1.      Menunda kegiatan seks bagi remaja
2.      Menghindari bergonta ganti pasangan seksual
3.      Memakai kondom dengan benar dan konsisten

2.3  Dampak HIV dan Infeksi Menular Seksual pada Kehamilan
Dampak HIV pada saat kehamilan merupakan hal yang sangat berbahaya. Dampak bagi ibu :
1.      Stigma sosial
2.      Kematian
Dampak bagi anak :
1.      Gangguan tumbuh kembang
2.      Penyakit seumur hidup
3.      Stigma sosial
4.      Kematian meningkat

2.4  Upaya Pencegahan
Menurut Yopan (2012), penularan HIV dari ibu ke bayi bisa dicegah melalui empat cara, mulai saat hamil, saat melahirkan, dan setelah lahir yaitu:
·      Penggunaan antiretroviral selama kehamilan
·      Penggunaan antiretroviral saat perasalinan dan bayi bayi yang baru dilahirkan
·      Penatalaksanan selama menyusui
Bayi dari ibu yang terinfeksi HIV memperlihatkan antibody terhadap virus tersebut hingga 10 sampai 18 bulan setelah lahir karena penyaluran IgG anti-HIV ibu menembus plasenta. Karena itu, uji terhadap serum bayi untuk mencari ada tidaknya antibodi IgG ,erupakan hal yang sia-sia, karena uji ini tidak dapat membedakan antibody bayi dari antibody ibu. Sebagian besar dari bayi ini, seiring dengan waktu, akan berhenti memperlihatkan antibody ibu dan juga tidak membentuk sendiri antibody terhadap virus, yang menunjukkan status seronegatif. Pada bayi, infeksi HIV sejati dapat diketahui melalui pemeriksaan-pemeriksaan seperti biakan virus, antigen p24, atau analisis PCR untuk RNA atau DNA virus. PCR DNA HIV adalah uji virologik yang dianjurkan karena sensitive untuk mendiagnosis infeksi HIV selama masa neonatus (Yopan, 2012).
Selama ini, mekanisme penularan HIV dari ibu kepada janinnya masih belum diketahui pasti. Angka penularan bervariasi dari sekitar 25% pada populasi yang tidak menyusui dan tidak diobati di negara-negara industri sampai sekitar 40% pada populasi serupa di negara-negara yang sedang berkembang. Tanpa menyusui, sekitar 20% dari infeksi HIV pada bayi terjadi in utero dan 80% terjadi selama persalinan dan pelahiran. Penularan pascapartus dapat terjadi melalui kolostrum dan ASI dan diperkirakan menimbulkan tambahan risiko 15% penularan perinatal (Yopan, 2012).
Menurut Yopan (2012), factor ibu yang berkaitan dengan peningkatan risiko penularan mencakup penyakit ibu yang lanjut, kadar virus dalam serum yang tinggi, dan hitung sel T CD4+ yang rendah. Pada tahun 1994, studi 076 dari the Pediatric AIDS Clinical Trials Group (PACTG) membuktikan bahwa pemberian zidovudin kepada perempuan hamil yang terinfeksi HIV mengurangi penularan ibu ke bayi sebesar dua pertiga dari 25% menjadi 8%. Di Amerika Serikat, insiden AIDS yang ditularkan pada masa perinatal turun 67% dari tahun 1992 sampai 1997 akibat uji HIV ibu prenatal dan profilaksis prenatal dengan terapi zidovudin. Perempuan merupakan sekitar 20% dari kasus HIV-AIDS di Amerika Serikat. Perempuan dari kaum minoritas (Amerika Afrika dan keturunan Spanyol) lebih banyak terkena, merupakan 85% dari seluruh kasus AIDS. Selain pemberian zidovudin oral kepada ibu positif HIV selama masa hamil, tindakan-tindakan lain yang dianjurkan untuk mengurangi risiko penularan HIV ibu kepada anak antaea lain:
1)   seksio sesaria sebelum tanda-tanda partus dan pecahnya ketuban (mengurangi angka penularan sebesar 50%);
2)   pemberian zidovudin intravena selama persalinan dan pelahiran;
3)   pemberian sirup zidovudin kepada bayi setelah lahir;
4)   tidak memberi ASI
Data menunjukkan bahwa perkembangan penyakit mengalami percapatan pada anak. Fase asimptomatik lebih singkat pada anak yang terjangkit virus melalui penularan vertical. Waktu median sampai awitan gejala lebih kecil pada anak, dan setelah gejala muncul, progresivitas penyakit menuju kematian dipercepat. Pada tahun 1994, CDC merevisi sistem klasfikasi untuk infeksi HIV pada anak berusia kurang dari 13 tahun. Pada sistem ini, anak yang terinfeksi diklasifikasikan menjadi kategori-kategori berdasarkan tiga parameter: status infeksi, status klinis, dan status imunologik (Yopan, 2012).
Perjalanan infeksi HIV pada anak dan dewasa memiliki kemiripan dan perbedaan. Pada anak sering terjadi disfungsi sel B sebelum terjadi perubahan dalam jumlah limfosit CD4+. Akibat disfungsi sistem imun ini, anak rentan mengalami infeksi bakteri rekuren. Invasi oleh pathogen-patogen bakteri ini menyebabkan berbagai sindrom klinis pada anak seperti otitis media, sinusitis, infeksi saluran kemih, meningitis infeksi pernapasan, penyakit GI, dan penyakit lain (Yopan, 2012).
Seluruh dunia, pada tahun 2008 diperkirakan 430.000 [240.000-610.000] infeksi baru karena human immunodeficiency virus (HIV) terjadi pada anak-anak, yang 90% diperoleh melalui motherto-child transmission (MTCT) HIV. Dari 430.000 infeksi baru, antara 280 dan 360.000.000 diperoleh selama persalinan danpada periode pra-melahirkan. Dari infeksi baruyang tersisa, sebagian besar diperoleh selama menyusui. Pada bayi yang terjangkit HIV selama waktu persalinan, perkembangan penyakit terjadi sangat cepat dalam beberapa bulanp ertama kehidupan, sering menyebabkan kematian. Untuk mengaktifkan antiretroviral (ARV) profilaksis harus diberikan kepada bayi sesegera mungkin setelah lahir, semua bayi yang memiliki status pajanan HIV harus diketahui sejak lahir (Yopan, 2012).
Data terbaru yang diterbitkan mengkonfirmasi manfaat kelangsungan hidup dramatis  bagi bayi yang  mulai diberikan ART sedini mungkin setelah diagnosis HIV, diperoleh dari review Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pedoman pengobatan pediatrik. Pada Juni 2008, pedoman baru dikeluarkan, yang merekomendasikan inisiasi ART segera pada bayi didiagnosis dengan infeksi HIV. Dalam rangka untuk mengidentifisikan bayi yang akan membutuhkan ART segera, konfirmasi awal dari infeksi HIV diperlukan. Pada November 2008, pertemuan diadakan untuk meninjau rekomendasioleh WHO untuk pengujian diagnostikinfeksi HIVpada bayi dan anak-anak (Yopan, 2012).


Post a Comment

0 Comments